A. Pendahuluan
Pendidikan hendaknya mampu mengantarkan
umat manusia menuju kemaslahatan, menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.
Pendidikan hendaknya mampu mengembangkan serta melestarikan nilai-nilai
kebajikan dan norma-norma Islam kepada generasi penerus umat, dan penerus
bangsa. Umat Islam harus maju dalam berbagai keilmuan agar kita tidak terbodohi
oleh bangsa atau umat yang tidak searah dengan kita. Umat Islam harus berjalan
sesuai dengan nilai dan norma-norma Islam.
Menuntut ilmu atau belajar menurut KH.
Hasyim Asy’ari merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah, yang mengantarkan
manusia untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Karenanya belajar harus
diniatkan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam, bukan hanya
untuk sekedar menghilangkan kebodohan.
Dalam dunia pendidikan banyak sekali
terjadi persamaan pendapat dan perbedaan pendapat khususnya dalam hal konsep
pendidikan. Dalam pemikiran pendidikan KH. Hasyim Asy’ari lebih focus kepada
persoalan-persoalan etika dalam mencari dan menyebarkan ilmu. Beliau
berpendapat bahwa bagi seorang yang akan mencari ilmu pengetahuan atau
menyebarkan ilmu pengetahuan, yang pertama harus ada pada diri mereka adalah
semata-mata untuk mencari ridho Allah swt.[1]
KH. Hasyim Asy’ari lahir di desa
Nggedang sekitar dua kilometer sebelah Timur Kabupaten Jombang, Jawa Timur.
Pada hari Selasa kliwon, tanggal 24 Dzulhijjah 1287 atau bertepatan tanggal 14
Pebruari 1871 M. Nama lengkapnya adalah Muhammad Hasyim ibn Asy’ari ibn Abd. Al
Wahid ibn Abd. Al Halim yang mempunyai gelar Pangeran Bona ibn Abd. Al Rahman
Ibn Abd. Al Aziz Abd. Al Fatah ibn Maulana Ushak dari Raden Ain al Yaqin yang
disebut dengan Sunan Giri.[2]. Dipercaya pula bahwa mereka
adalah keturunan raja Muslim Jawa, Jaka Tinggir dan raja Hindu Majapahit,
Brawijaya VI. Jadi KH. Hasyim Asy’ari juga dipercaya keturunan dari keluarga
bangsawan.[3]
Ibunya, Halimah adalah putri dari kiai
Ustman, guru Asy’ari sewaktu mondok di pesantren. Jadi, ayahnya (KH. Hasyim)
adalah santri pandai yang mondok di kiai Ustman, hingga akhirnya karena
kepandaian dan akhlak luhur yang dimiliki, ia diambil menjadi menantu dan
dinikahkan dengan Halimah. Sementara kiai Ustman sendiri adalah kiai terkenal
dan juga pendiri pesantren Gedang yang didirikannya pada akhir abad ke-19.
KH. Hasyim Asy’ari adalah anak ketiga
dari sepuluh bersaudara, yaitu Nafiah, Ahmad Saleh, Radiah, Hassan, Anis,
Fatanah, Maimunah, Maksum, Nahrawi, dan Adnan.
Dari lingkungan pesantren inilah KH.
Hasyim Asy’ari mendapat didikan awal tentang berbagai hal yang berkaitan dengan
ke-Islaman. Hingga usia lima tahun, Hasyim mendapat tempaan dan asuhan orangtua
dan kakeknya di pesantren Gedang. Mula-mula ia belajar pada ayahnya sendiri,
lalu bergabung bersama santri lain untuk memperdalam ilmu agama dan pesantren
itu para santri mengamalkan ajaran agama dan belajar berbagai cabang ilmu agama
Islam.
Suasana ini tidak diragukan lagi
mempengaruhi karakter KH. Hasyim Asy’ari yang sederhana dan rajin belajar.
Minat bacanya sangat tinggi, hingga yang dibaca bukan hanya buku-buku pelajaran
dengan literatur-leteratur Islam, tetapi juga buku-buku lain dan umum.
Pada tahun 1876, ketika KH. Hasyim Asy’ari
berumur 6 tahun, ayahnya mendirikan pesantren di sebelah Selatan Jombang, suatu
pengalaman yang di masa mendatang mempengaruhi beliau untuk kemudian mendirikan
pesantren sendiri. Dari sini dapat dilihat bahwa kehidupan masa kecilnya di
lingkungan pesantren berperan besar dalam pembentukan wataknya yang haus ilmu
pengetahuan dan kepeduliannya pada pelaksanaan ajaran-ajaran agama dengan baik.
Menurut penuturan ibunya, tanda
kecerdasan dan ketokohan KH. Hasyim Asy’ari sudah tampak saat ia masih berada
dalam kandungan. Di samping masa kandung yang lebih lama dari umumnya
kandungan, ibunya juga pernah bermimpi melihat bulan jatuh dari langit ke dalam
kandungannya.[4].
Mimpi tersebut kiranya bukanlah isapan
jempol dan kembang tidur belaka, sebab ternyata tercatat dalam sejarah, bahwa
pada usianya yang masih sangat muda, 13 tahun, KH. Hasyim Asy’ari sudah berani
menjadi guru pengganti (badal) di pesantren untuk mengajar santri-santri yang
tidak jarang lebih tua dari umurnya sendiri.
Pada usia muda KH. Hasyim Asy’ari mulai
melakukan pengembaraan ke berbagai pesantren di luar daerah Jombang. Pada
awalnya, ia menjadi santri di pesantren Wonokojo di Probolinggo, kemudian berpindah
ke pesantren Langitan, Tuban. Dari Langitan santri yang cerdas tersebut
berpindah lagi ke pesantren Trenggilis, hingga pesantren Kademangan Bangkalan,
di Madura sebuah pesantren yang diasuh kyai Khalil. Terakhir sebelum belajar ke
Mekkah, ia sempat nyantri dan tinggal lama di pesantren Siwalan Panji,
Sidoarjo, di bawah asuhan kiai Ya’qub, sampai akhirnya diambil menantu oleh
kiai Ya’qub, dinikahkan dengan anaknya yang bernama Khadijah tahun 1892.
Tidak berapa lama kemudian ia beserta
isteri dan mertuanya berangkat haji ke Mekkah yang dilanjutkan dengan belajar
di sana. Modal pengetahuan agama selama nyantri di tanah air memudahkan Hasyim
memahami pelajaran selama di Mekkah.
Selama disana beliau berguru pada
sejumlah ulama, di antaranya Syaikh Ahmad Amin al Aththar, Sayyid Sultan ibn
Hasyim, Sayyid Abdullah al Zawawi, Syaikh Shaleh Bafadhal dan Syaikh Sultan
Hasyim Dagastani.[5]
Minatnya begitu tinggi terhadap ilmu
pengetahuan, terutama ilmu hadith dan tasawuf. Hal ini yang membuat KH. Hasyim
di kemudian hari senang mengajarkan hadith dan tasawuf. Pada masa-masa akhir di
Mekkah beliau sempat memberikan pengajaran kepada orang lain yang memerlukan
bimbingannya, dan ini yang menjadi bekal tersendri yang kemudian hari
diteruskan setelah kembali ke tanah air.
Pada tahun 1899/1900 ia kembali ke
Indonesia dan mengajar di pesantren ayahnya dan kakeknya, hingga berlangsung
beberapa waktu. Masa berikutnya Hasyim menikah lagi dengan putri kiai Ramli
dari Kemuning (Kediri) yang bernama Nafiah, setelah sekian lama menduda. Mulai
itu beliau diminta membantu mengajar di pesantren mertuanya di Kemuning.
Kemudian mendirikan pesantren sendiri di
daerah sekitar Cukir, pesantren Tebuireng di Jombang, pada tanggal 6 Pebruari
1906. Pesantren yang baru didirikan tersebut tidak berapa lama berkembang
menjadi pesantren yang terkenal di Nusantara, dan menjadi tempat menggodok
kader-kader ulama wilayah Jawa dan sekitarnya.
KH. Hasyim Asy’ari meninggal pada
tanggal 7 Ramadhan 1366 H bertepatan dengan 25 Juli 1947 M di Tebuireng Jombang
dalam usia 79 tahun, karena tekanan darah tinggi. Hal ini terjadi setelah
beliau mendengar berita dari Jenderal Sudirman dan Bung Tomo bahwa pasukan
Belanda di bawah pimpinan Jenderal Spoor telah kembali ke Indonesia dan menang
dalam pertempuran di Singosari (Malang) dengan meminta banyak korban dari
rakyat biasa. Beliau sangat terkejut dengan peristiwa itu, sehingga terkena serangan
stroke yang menyebabkan kematiannya.[6]
C. Konsep
Pendidikan KH. Hasyim Asy’ari
KH.
Hasyim Asy’ari yang dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan pesantren, serta
banyak menuntut ilmu dan berkecimpung secara langsung di dalamnya, di
lingkungan pendidikan agama Islam khususnya. Dan semua yang dialami dan
dirasakan beliau selama itu menjadi pengalaman dan mempengaruhi pola pikir dan
pandangannya dalam masalah-masalah pendidikan.
KH.
Hasyim Asy’ari adalah seorang penulis yang produktif dalam semua bidang
keilmuan islam, namun dari sudut epistemoliginya ada kesimpulan dari
pemikirannya yaitu dia memiliki pemikiran yang khas dan tipikal, ia selalu
konsisten mengacu pada rujukan yang memliki sumber otoritatif, yakni Al-Qur’an
dan Hadith, disamping itu yang menjadi tipikal karya karyanya adalah
kecenderungannya terhadap madzhaab Syafi’i. Di antara pemikiran beliau dalam
masalah pendidikan adalah:
1. Signifikansi
Pendidikan
Beliau
menyebutkan bahwa tujuan utama ilmu pengetahan adalah mengamalkan. Hal itu
dimaksudkan agar ilmu yang dimiliki menghasilkanmanfaat sebagai bekal untuk
kehidupan akhirat kelak. Terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam
menuntut ilmu, yaitu : pertama, bagi murid hendaknya berniat suci dalam
menuntut ilmu, jangan sekali-kali berniat untuk hal-hal duniawi dan jangan
melecehkannya. Kedua, bagi guru dalam mengajarkan ilmu hendaknya
meluruskan niatnya terlebih dahulu, tidak mengharapkan materi semata.
Belajar
menurut KH. Hasyim Asy’ari merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah, yang
mengantarkan manusia untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Karenanya
belajar harus diniatkan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam,
bukan hanya untuk sekedar menghilangkan kebodohan.[7]
Pendidikan
hendaknya mampu menghantarkan umat manusia menuju kemaslahatan, menuju
kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan hendaknya mampu mengembangkan serta
melestarikan nilai-nilai kebajikan dan norma-norma Islam kepada generasi
penerus umat, dan penerus bangsa. Umat Islam harus maju dan jangan mau dibodohi
oleh orang lain, umat Islam harus berjalan sesuai dengan nilai dan norma-norma
Islam.
2. Etika
Seorang Guru Terhadap Siswa
Diantara
etika pendidik terhadap peserta didik adalah sebagai berikut; (a)berniat
mendidik dan menyebarkan ilmu pengetahuan serta menghidupkan syari’at Islam;
(b) guru hendaknya memiliki keihlasan dalam mengajar; (c) mencintai peserta
didik sebagaimana mencinta dirinya sendiri; (d) memberi kemudahan dalam
mengajar dan menggunakan kata-kata yang dapat dipahami; (e) membangkitkan
semangat peseta didik dengan jalan memotivasinya; (f) memberkan latihan-latihan
yang bersifat membantu; (g) selalu memperhatikan kemampuan anak didik; (h)
tidak menampakkan kelebihan sebagian peserta didik terhadap peserta didik yang lain;
(i) mengerahkan minat anak didik; (j) bersikap terbuka dan lapang dada kepada
peserta didik; (k) membantu memecahkan kesulitan anak didik; (l) bila ada anak
didik yang berhalangan hadar hendaknya menanyakan hal itu kepada
teman-temannya; (m) Tunjukkan sikap arif dan tawadhu’ketika memberi
bimbingan kepada peserta didik; (n) menghormati peserta didik dengan memanggil
namanya yang baik.
3. Etika
Siswa Terhadap Guru
Menurut
KH. Hasyim Asy’ari paling tidak ada 12 etika yang perlu dilakukan, yakni: (a)
melakukan perenungan dan meminta petunjuk kepada Allah swt dalam memilih guru;
(b) belajar sungguh-sungguh dengan menemui pendidik secara langsung, tidak
hanya melalui tulisan-tulisannya semata; (c) mengikuti guru, terutama dalam
kecerundungan pemikiran; (d) memuliakan guru; (e) memperhatikan hal-hal yang
menjadi hak pendidik; (f) bersabar terhadap kekerasan pendidik; (g) berkunjung
kepada guru pada tempatnya atau meminta izin terlebih dahulu; (h) menempati
posisi duduk dengan rapih dan sopan bila berhadapan dengannya; (i) berbicara
dengan halus dan lemah lembut; (j) menghafal dan memperhatikan fatwa hukum,
nasihat, kisah, dari para guru; (k) jangan sekali-kali menyela ketika guru
belum selesai menjelaskan; (l) menggunakan anggota badan yang kanan bila
menyerahkan sesuatu kepada pendidik. [8]
4. Etika
Guru Bersama Murid
Guru
dan murid pada dasarnya memiliki tanggung jawab yang berbeda, namun terkadang
seorang guru dan murid mempunyai tanggung jawab yang sama, diantara etika
tersebut adalah : (a) berniat mendidik dan menyebarkan ilmu pengetahuan serta
menghidupkan syari’at islam; (b) menghindari ketidak ikhlasan dan mengejar
keduniawian; (c) hendaknya selalu melakukan instropeksi diri; (d) menggunakan
metode yang sudah dipahami murid; (e) membangkitkan semangat murid dengan
memotivasinya; (f) memberikan latihan – latihan yang bersifat membantu; (g)
selalu memperhatikan kemapuan peserta didik yang lain; (h) bersikap terbuka dan
lapang dada; (i) membantu memecahkan masalah dan kesulitan peserta didik; (j)
tunjukkan sikap yang arif dan tawadhu’ kepada peserta didik yang satu dengan
yang lain.
Bila
sebelumnya seorang murid dengan guru memiliki tugas dan tanggung jawab yang
berbeda, maka setelah kita telaah kembali, ternyata seorang guru dan murid juga
memiliki tugas yang serupa seperti tersebut di atas. Ini mengindikasikan bahwa
pemikiran KH. Hasyim Asy’ari tidak hanya tertuju pada perbedaan-perbedaan yang
dimiliki oleh peserta didik dan guru, namun juga keasamaan yang dimiliki dan
yang harus dijalani. Hal ini pulalah yang memberikan indikasi nilai utama yang
lebih pada hasil pemikirannya.
D. Pemikiran
KH. Hasyim Asy’ari Dengan Pendidikan Sekarang
Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari
sesungguhnya lebih menitik beratkan pada persoalan hati (qolb) sehingga yang
menjadi hal terpenting atau modal dalam menuntut ilmu adalah niat yang tulus
dan ikhlas dan mengaharapkan ridha Allah Swt, selain itu dia juga sangat
menekankan penanaman akhlak dan moral terhadap siswa, jika dikaitkan dengan
pendidikan sekarang maka pemikiraan KH. Hasyim Asy’ari berhubungan erat dengan
aspek afektif siswa, pada dasarnya pemikiran KH. Hasyim Asy’ari mengenai tujuan
atau pun dasar yang digunakan adalah sangat tepat bahkan sangat sesuai karena
menggunakan dasar Al-Qur’an dan Hadith. Karena dalam Al-Qur’an dan Hadith
terwujud suatu system pendidikan yang koomperhensif yaitu kognitif, afectif dan
psikomotorik.
Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari memunculkan
implikasi terhadap pendidikan islam tradisional pada umumnya, dan lembaga yang
berada di naungan NU pada khusunya, diantaranya antara lain :
Pola kepemimpinan dalam pemikiran KH.
Hasyim Asy’ari cenderung mengarah pada pola kepemimpinan yang kharismatik,
dimana pengaruh sang pemimpin lebih ditekankan pada garis keturunan, pola
kepemimpinan yang seperti ini bisa dikatakan sebagai suatu pola kepemimpinan
yang tidak demokratis, jadi bisa dikatakan pola ini tidak cocok di terapkan
dalam pola kepemimpinan sekarang. Dalam pola pengajaran KH. Hasyim Asy’ari
lebih cenderung bahwa guru adalah sebagai subyek yang harus menstransfer ilmu,
jika kita kaitkaan dengan pola pendidikan saat ini maka hal tidak terlalu
efektif karena hal itu menyebabkan siswa akan cenderung pasif dan kurang bisa
mengembangkan pengetahuan, karena mereka cenderung hanya mengandalkan ilmu yang
diberikan oleh guru.
Mengenai evaluasi menurut pemikiran KH.
Hasyim Asy’ari memang dalam proses evaluasi tidak menggunakan standarisasi
nilai, namun jika ditelisik sistem pendidikan islam sebenarnya proses itu
sudah menilai dari segala aspek yaitu aspek kognitif, afektif, dan
psikomotorik. Dari pemikiran KH. Hasyim Asy’ari yang telah digambarkan diatas
dapat ditarik kesimpulan bahwa pemikiran KH. Hasyim Asy’ari masih bercorak
tradisionalis, tetapi pemikiran KH. Hasyim Asy’ari tetap sesuai dan tepat jika
diterapkan dalam pendidikan islam saat ini, terutama dalam beberapa aspek
antara lain: dalam hal tujuan pendidikan, materi dan dasar yang digunakan yaitu
Al-Qu’an dan Hadisth.
E. Karya-Karya
KH. Hasyim Asy’ari
KH. Hasyim Asy’ari termasuk sosok ulama
yang sangat produktif dalam menulis karyanya. Namun sangat disayangkan bahwa
sejumlah karyanya tidak bisa ditemui oleh masyarakat umum secara bebas dan
sebagian belum sempat dipublikasikan karena belum tertibnya pengarsipan yang
ada pada masa itu serta kurang tertata rapi sistem dokumentasi dan pengarsipan
pada lembaga NU. Setidaknya dibawah ini dapat kita lihat diantara
kitab yang disusunnya, antara lain:[9]
1.
Adab al Alim wa al Muta’allim fima
Yahtaj ilah al Muta’alim fi Ahuwal Ta’allum wa ma Yataqaff al Mu’allim fi
Maqamat Ta’limih.Tatakrama pengajar dan pelajar. Berisi tentang etika bagi para
pelajar dan pendidik, merupakan resume dari Adab al-Mu’allim karya Syekh
Muhammad bin Sahnun (w.256 H/871 M); Ta’lim al-Muta’allim fi Thariq at-Ta’allum
karya Syeikh Burhanuddin al-Zarnuji (w.591 H); dan Tadzkirat al-Saml wa
al-Mutakallim fi Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim karya Syeikh Ibn Jama’ah.
Memuat 8 bab, diterbitkan oleh Maktabah at-Turats al-Islamy Tebuireng. Di akhir
kitab terdapat banyak pengantar dari para ulama, seperti: Syeikh Sa’id bin
Muhammad al-Yamani (pengajar di Masjidil Haram, bermadzhab Syafii), Syeikh
Abdul Hamid Sinbal Hadidi (guru besar di Masjidil Haram, bermadzhab Hanafi),
Syeikh Hasan bin Said al-Yamani (Guru besar Masjidil Haram), dan Syeikh
Muhammad ‘Ali bin Sa’id al-Yamani.
2.
Ziyadat Ta’liqat, Radda fiha Mandhumat
al Syaikh “Abd Allah bin Yasin al Fasurani Allati Bihujubiha “ala Ahl Jam’iyyah
Nahdhatul Ulama. Catatan seputar nadzam Syeikh Abdullah bin Yasin
Pasuruan. Berisi polemik antara Kiai Hasyim dan Syeikh Abdullah bin Yasir. Di
dalamnya juga terdapat banyak pasal berbahasa Jawa dan merupakan fatwa Kiai
Hasyim yang pernah dimuat di Majalah Nahdhatoel Oelama’.
3.
Al Tanbihat al Wajibat liman Yashna al
Maulid al MunkaratPeringatan-peringatan wajib bagi penyelenggara kegiatan
maulid yang dicampuri dengan kemungkaran. Ditulis berdasarkan kejadian yang
pernah dilihat pada malam Senin, 25 Rabi’ al-Awwal 1355 H., saat para santri di
salah satu pesantren sedang merayakan Maulid Nabi yang diiringi dengan
perbuatan mungkar, seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan, permainan yang
menyerupai judi, senda gurau, dll. Pada halaman pertama terdapat pengantar dari
tim lajnah ulama al-Azhar, Mesir. Selesai ditulis pada 14 Rabi’ at-Tsani 1355
H., terdiri dari 15 bab setebal 63 halaman, dicetak oleh Maktabah at-Turats
al-Islamy Tebuireng, cetakan pertama tahun 1415 H.
4.
Al Risalat al Jamiat, Sharh fiha Ahmaal
al Mauta wa Asirath al sa’at ma’bayan Mafhum al Sunnah wa al Bid’ah. .
Risalah Ahl Sunnah Wal Jama’ah tentang hadis-hadis yang menjelaskan kematian,
tanda-tanda hari kiamat, serta menjelaskan sunnah dan bid’ah. Berisi 9 pasal.
5.
Al Nur al Mubin fi Mahabbah Sayyid al
Mursalin, bain fihi Ma’na al Mahabbah Libasul Allah wa ma Yata’allaq biha Man
Ittiba’iha wa Ihya al Sunnahih. Cahaya yang jelas menerangkan cinta kepada
pemimpin para rasul. Berisi dasar kewajiban seorang muslim untuk beriman,
mentaati, meneladani, dan mencintai Nabi Muhammad SAW. Tebal 87 halaman, memuat
biografi singkat Nabi SAW mulai lahir hingga wafat, dan menjelaskan mu’jizat
shalawat, ziarah, wasilah, serta syafaat. Selesai ditulis pada 25 Sya’ban 1346
H., terdiri dari 29 bab.
6.
Hasyiyah ‘ala Fath al Rahman bi Syarth
Risalat al Wali Ruslan li Syaikh al Islam Zakaria al Ansyari.
7.
Al Duur al Muntasirah fi Masail al
Tiss’I Asyrat, Sharth fiha Masalat al Thariqah wa al Wilayah wa ma Yata’allq
bihima min al Umur al Muhimmah li ahl thariqah. Mutiara yang memancar
dalam menerangkan 19 masalah. Berisi kajian tentang wali dan thariqah dalam
bentuk tanya-jawab sebanyak 19 masalah. Tahun 1970-an kitab ini diterjemahkan
oleh Dr. KH. Thalhah Mansoer atas perintah KH. M. Yusuf Hasyim, dierbitkan oleh
percetakan Menara Kudus. Di dalamnya memuat catatan editor setebal xxxiii
halaman. Sedangkan kitab aslinya dimulai dari halaman 1 sampai halaman 29.
8.
Al Tibyan fi al Nahy ‘an Muqathi’ah al
Ihwan, bain fih Ahammiyat Shillat al Rahim wa Dhurrar qatha’iha. Berisi
tentang tata cara menjalin silaturrahim, bahaya dan pentingnya interaksi
sosial. Tebal 17 halaman, selesai ditulis hari Senin, 20 Syawal 1360 H.,
penerbit Maktabah Al-Turats Al-Islami Ma’had Tebuireng.
9.
Al Risalah al Tauhidiyah, wahiya Risalah
Shaghirat fi Bayan ‘Aqidah Ahl Sunnah wa al Jamaah.
10.
Al Walaid fi Bayan ma Yajib min
al’Aqaid.
11.
Al-Risalah fi at-Tasawwuf. Menerangkan
tentang tashawuf; penjelasan tentang ma’rifat, syariat, thariqah, dan haqiqat.
Ditulis dengan bahasa Jawa, dicetak bersama kitab al-Risalah fi al-‘Aqaid.
12.
Al-Risalah fi al-’Aqaid. Berbahasa Jawa,
berisi kajian tauhid, pernah dicetak oleh Maktabah an-Nabhaniyah al-Kubra
Surabaya, bekerja sama dengan percetakan Musthafa al-Babi al-Halabi Mesir tahun
1356 H./1937M. Dicetak bersama kitab Kiai Hasyim lainnya yang berjudul Risalah
fi at-Tashawwuf serta dua kitab lainnya karya seorang ulama dari Tuban. Risalah
ini ditash-hih oleh syeikh Fahmi Ja’far al-Jawi dan Syeikh Ahmad Said ‘Ali
(al-Azhar). Selelai ditash-hih pada hari Kamis, 26 Syawal 1356 H/30 Desember
1937 M.[10]
F. Analisis
Pemikiran Kependidikan KH. Hasyim Asy’ari
Adapun Karakteristik pemikiran
pendidikan Islam yang berkembang sejak masa awal Islam hingga sekarang sangat
beragam. Keberagaman ini dipengaruhi oleh konstruk sosial, politik dan
keagamaan yang berkembang sehingga antara ciri khas sebuah pemikiran atau
literature dengan keadaan sosial ketika iu memiliki korelasi yang signifikan.
Namun demikian menurut Hasan Langgung,
tokoh kependidikan kontemporer pada dasarnya literatur kependidikan Islam itu
digolongkan ke beberapa corak. Antara lain :
1.
corak pemikiran pendidikan yang awalnya
adalah sajian dalam spesifikasi fiqh, tafsir, dan hadist kemudian mendapatkan
perhatian tersendiri dengan mengembangkan aspek-aspek pendidikan. Model ini
diwakili oleh Ibn Hazm (384-456 H).
2.
Corak pemikiran pendidikan yang
bermuatan sastera. Contohnya adalah Abdullah bin al-Muqaffa’ (106-142
H/724-759M).
3.
corak pemikiran pendidikan Islam
filosofis. Sebagai contohnya adalah corak kependidikan yang dikembangkan oleh
aliran Mu’tazilah, ikhwah al-Shafa dan para filosof.
4.
Pemikiran pendidikan Islam yang bediri
sendiri dan berlainan dari beberapa corak diatas, tetapi ia tetap berpegang
teguh pada semangat al-Qur’andan al-Hadist.
Jika mengacu pada klasifikasi Hasan
Langgulung di atas maka tampaknya Adab al-Alim wa al-Muta’allim dapat
digolongkan pada corak yang terakhir. Hal ini didasarkan atas kandungan dalam
kitab-kitab tersebut tidak memuat kajian-kajian dalam spesifikasi fiqh,
sastera, dan filasafat. Adab ’al-Alim semata-mata memberi petunjuk
praktis bagi siapa saja yang terlibat dalam proses pendidikan, sebagaimana yang
dikemukakan oleh KH. Hasyim Asy’ari tentang latar belakang penulisannya.
Selain itu, Adab ’al-Alim mempunyai
banyak kesamaan dengan Ta’lim al-Muta’allim karya al-Zarnuji. Disisi
lain, karakter pemikiran kependidikan KH. Hasyim Asy’ari dapat dimasukkan
kedalam garis mazhab Syafi’iyyah. Bukti kuat menunjukkan hal itu adalah beliau
sering mengutip tokoh-tokoh syafi’iyyah, termasuk Imam al-Syafi’i sendiri
ketimbang tokoh mazhab yang lain.
Dan juga pemikiran KH. Hasyim Asy’ari
adalah mengetengahkan nilai-nilai estetika yang bernafaskan sufistik. Untuk
sekedar meyakinkan hal itu dapat dikemukakan bahwa bagi beliau keutamaan ilmu
yang sangat isitimewa adalah bagi orang yang benar-benar lillahi ta’alaa.
G. Kesimpulan
KH. Hasyim Asy’ari menyiratkan
pada sebuah pemahaman bahwa pendidikan itu lebih banyak ditekankan oleh aspek
guru. Guru tidak hanya sebagai transmitor pengetahuan (knowledge) kepada
peserta didik, tetapi juga pihak yang memberi pengaruh secara signifikan
terhadap pembentukan perilaku (etika) peserta didik.
Sebab, hatilah yang mendorong sebuah
etika itu muncul. Kecenderungan pada aspek hati ini dengan sendirinya
membedakan diri dari corak pemikiran pendidikan yang lain, seperti aliran
progresivisme dan essensialisme.
BIBLIOGRAFI
Khuluq Lathiful. Kebangkitan
Ulama, Biografi K.H.Hasyim Asy’ari. Yogyakarta: LKIS, 2000.
Mawardi Kholid. Jurnal Pemikiran
Alternatif Pendidikan : Moralitas Pemikiran Pendidikan K.
H. Hasyim asy’ari. Yogyakarta : Insania , 2008.
Nata Abuddin. Tokoh-tokoh Pembaruan
Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Rajagrafindo Persada. 2005.
Rizal Samsul, M.A DR.H.Filsafat Pendidikan
Islam. Jakarta : Ciputat Pers, 2002.
Suwendi, Sejarah & Pemikiran
Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
Zuhairi dkk. Sejarah Pendidikan Islam.
Jakarta: Bumi Aksara. 2004.
http://anwarbook.blogspot.com/2011/11/pemikiran-pendidikan-islam-kh-hasyim.html
[1] Kholid Mawardi, Jurnal Pemikiran
Alternatif Pendidikan : Moralitas Pemikiran Pendidikan K. H.
Hasyim asy’ari. (Yogyakarta : Insania , 2008) 2
[2] Abuddin Nata. Tokoh-tokoh
Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia,(Jakarta: Rajagrafindo Persada.
2005)113
[3] Lathiful Khuluq, Kebangkitan
Ulama, Biografi K.H.Hasyim Asy’ari, (Yogyakarta: LKIS, 2000) 14.
[4] Ibid, 16.
[5] Ibid, 18.
[6] Op. Cit, Lathiful
Khuluq, Kebangkitan Ulama , 21.
[7] DR.H. Samsul Rizal, M.A. Filsafat
Pendidikan Islam (Jakarta : Ciputat Pers.. 2002)155
[8] Op. Cit. DR.H. Samsul
Rizal, M.A.. Filsafat Pendidikan Islam 167.
[9] Suwendi, Sejarah &
Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004),
141.
[10] http://anwarbook.blogspot.com/2011/11/pemikiran-pendidikan-islam-kh-hasyim.html
Tidak ada komentar :
Posting Komentar