SELAMAT DATANG DI BLOG MTs. AL-MA'ARIF,BADUNG, BALI.Telp : 0361-9384082 Generasi MTs adalah Generasi Umat dan Bangsa. Jika Allah bersamamu, maka jangan takut kepada siapa saja, akan tetapi jika Allah sudah tidak lagi bersamamu, maka siapa lagi yang bisa diharapkan olehmu?

Selasa, 29 September 2015

KONSEP PENDIDIKAN KH. HASYIM AS’ARI

A.    Pendahuluan
Pendidikan hendaknya mampu mengantarkan umat manusia menuju kemaslahatan, menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan hendaknya mampu mengembangkan serta melestarikan nilai-nilai kebajikan dan norma-norma Islam kepada generasi penerus umat, dan penerus bangsa. Umat Islam harus maju dalam berbagai keilmuan agar kita tidak terbodohi oleh bangsa atau umat yang tidak searah dengan kita. Umat Islam harus berjalan sesuai dengan nilai dan norma-norma Islam.
Menuntut ilmu atau belajar menurut KH. Hasyim Asy’ari merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah, yang mengantarkan manusia untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Karenanya belajar harus diniatkan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam, bukan hanya untuk sekedar menghilangkan kebodohan.
Dalam dunia pendidikan banyak sekali terjadi persamaan pendapat dan perbedaan pendapat khususnya dalam hal konsep pendidikan. Dalam pemikiran pendidikan KH. Hasyim Asy’ari lebih focus kepada persoalan-persoalan etika dalam mencari dan menyebarkan ilmu. Beliau berpendapat bahwa bagi seorang yang akan mencari ilmu pengetahuan atau menyebarkan ilmu pengetahuan, yang pertama harus ada pada diri mereka adalah semata-mata untuk mencari ridho Allah swt.[1]

B.     Biografi KH. Hasyim Asy’ari
KH. Hasyim Asy’ari lahir di desa Nggedang sekitar dua kilometer sebelah Timur Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Pada hari Selasa kliwon, tanggal 24 Dzulhijjah 1287 atau bertepatan tanggal 14 Pebruari 1871 M. Nama lengkapnya adalah Muhammad Hasyim ibn Asy’ari ibn Abd. Al Wahid ibn Abd. Al Halim yang mempunyai gelar Pangeran Bona ibn Abd. Al Rahman Ibn Abd. Al Aziz Abd. Al Fatah ibn Maulana Ushak dari Raden Ain al Yaqin yang disebut dengan Sunan Giri.[2].  Dipercaya pula bahwa mereka adalah keturunan raja Muslim Jawa, Jaka Tinggir dan raja Hindu Majapahit, Brawijaya VI. Jadi KH. Hasyim Asy’ari juga dipercaya keturunan dari keluarga bangsawan.[3]
Ibunya, Halimah adalah putri dari kiai Ustman, guru Asy’ari sewaktu mondok di pesantren. Jadi, ayahnya (KH. Hasyim) adalah santri pandai yang mondok di kiai Ustman, hingga akhirnya karena kepandaian dan akhlak luhur yang dimiliki, ia diambil menjadi menantu dan dinikahkan dengan Halimah. Sementara kiai Ustman sendiri adalah kiai terkenal dan juga pendiri pesantren Gedang yang didirikannya pada akhir abad ke-19.
KH. Hasyim Asy’ari adalah anak ketiga dari sepuluh bersaudara, yaitu Nafiah, Ahmad Saleh, Radiah, Hassan, Anis, Fatanah, Maimunah, Maksum, Nahrawi, dan Adnan.
Dari lingkungan pesantren inilah KH. Hasyim Asy’ari mendapat didikan awal tentang berbagai hal yang berkaitan dengan ke-Islaman. Hingga usia lima tahun, Hasyim mendapat tempaan dan asuhan orangtua dan kakeknya di pesantren Gedang. Mula-mula ia belajar pada ayahnya sendiri, lalu bergabung bersama santri lain untuk memperdalam ilmu agama dan pesantren itu para santri mengamalkan ajaran agama dan belajar berbagai cabang ilmu agama Islam.
Suasana ini tidak diragukan lagi mempengaruhi karakter KH. Hasyim Asy’ari yang sederhana dan rajin belajar. Minat bacanya sangat tinggi, hingga yang dibaca bukan hanya buku-buku pelajaran dengan literatur-leteratur Islam, tetapi juga buku-buku lain dan umum.
Pada tahun 1876, ketika KH. Hasyim Asy’ari berumur 6 tahun, ayahnya mendirikan pesantren di sebelah Selatan Jombang, suatu pengalaman yang di masa mendatang mempengaruhi beliau untuk kemudian mendirikan pesantren sendiri. Dari sini dapat dilihat bahwa kehidupan masa kecilnya di lingkungan pesantren berperan besar dalam pembentukan wataknya yang haus ilmu pengetahuan dan kepeduliannya pada pelaksanaan ajaran-ajaran agama dengan baik.
Menurut penuturan ibunya, tanda kecerdasan dan ketokohan KH. Hasyim Asy’ari sudah tampak saat ia masih berada dalam kandungan. Di samping masa kandung yang lebih lama dari umumnya kandungan, ibunya juga pernah bermimpi melihat bulan jatuh dari langit ke dalam kandungannya.[4].
Mimpi tersebut kiranya bukanlah isapan jempol dan kembang tidur belaka, sebab ternyata tercatat dalam sejarah, bahwa pada usianya yang masih sangat muda, 13 tahun, KH. Hasyim Asy’ari sudah berani menjadi guru pengganti (badal) di pesantren untuk mengajar santri-santri yang tidak jarang lebih tua dari umurnya sendiri.
Pada usia muda KH. Hasyim Asy’ari mulai melakukan pengembaraan ke berbagai pesantren di luar daerah Jombang. Pada awalnya, ia menjadi santri di pesantren Wonokojo di Probolinggo, kemudian berpindah ke pesantren Langitan, Tuban. Dari Langitan santri yang cerdas tersebut berpindah lagi ke pesantren Trenggilis, hingga pesantren Kademangan Bangkalan, di Madura sebuah pesantren yang diasuh kyai Khalil. Terakhir sebelum belajar ke Mekkah, ia sempat nyantri dan tinggal lama di pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo, di bawah asuhan kiai Ya’qub, sampai akhirnya diambil menantu oleh kiai Ya’qub, dinikahkan dengan anaknya yang bernama Khadijah tahun 1892.
Tidak berapa lama kemudian ia beserta isteri dan mertuanya berangkat haji ke Mekkah yang dilanjutkan dengan belajar di sana. Modal pengetahuan agama selama nyantri di tanah air memudahkan Hasyim memahami pelajaran selama di Mekkah.
 Selama disana beliau berguru pada sejumlah ulama, di antaranya Syaikh Ahmad Amin al Aththar, Sayyid Sultan ibn Hasyim, Sayyid Abdullah al Zawawi, Syaikh Shaleh Bafadhal dan Syaikh Sultan Hasyim Dagastani.[5]
Minatnya begitu tinggi terhadap ilmu pengetahuan, terutama ilmu hadith dan tasawuf. Hal ini yang membuat KH. Hasyim di kemudian hari senang mengajarkan hadith dan tasawuf. Pada masa-masa akhir di Mekkah beliau sempat memberikan pengajaran kepada orang lain yang memerlukan bimbingannya, dan ini yang menjadi bekal tersendri yang kemudian hari diteruskan setelah kembali ke tanah air.
Pada tahun 1899/1900 ia kembali ke Indonesia dan mengajar di pesantren ayahnya dan kakeknya, hingga berlangsung beberapa waktu. Masa berikutnya Hasyim menikah lagi dengan putri kiai Ramli dari Kemuning (Kediri) yang bernama Nafiah, setelah sekian lama menduda. Mulai itu beliau diminta membantu mengajar di pesantren mertuanya di Kemuning.
Kemudian mendirikan pesantren sendiri di daerah sekitar Cukir, pesantren Tebuireng di Jombang, pada tanggal 6 Pebruari 1906. Pesantren yang baru didirikan tersebut tidak berapa lama berkembang menjadi pesantren yang terkenal di Nusantara, dan menjadi tempat menggodok kader-kader ulama wilayah Jawa dan sekitarnya.
KH. Hasyim Asy’ari meninggal pada tanggal 7 Ramadhan 1366 H bertepatan dengan 25 Juli 1947 M di Tebuireng Jombang dalam usia 79 tahun, karena tekanan darah tinggi. Hal ini terjadi setelah beliau mendengar berita dari Jenderal Sudirman dan Bung Tomo bahwa pasukan Belanda di bawah pimpinan Jenderal Spoor telah kembali ke Indonesia dan menang dalam pertempuran di Singosari (Malang) dengan meminta banyak korban dari rakyat biasa. Beliau sangat terkejut dengan peristiwa itu, sehingga terkena serangan stroke yang menyebabkan kematiannya.[6]

C.    Konsep Pendidikan KH. Hasyim Asy’ari
KH. Hasyim Asy’ari yang dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan pesantren, serta banyak menuntut ilmu dan berkecimpung secara langsung di dalamnya, di lingkungan pendidikan agama Islam khususnya. Dan semua yang dialami dan dirasakan beliau selama itu menjadi pengalaman dan mempengaruhi pola pikir dan pandangannya dalam masalah-masalah pendidikan.
KH. Hasyim Asy’ari adalah seorang penulis yang produktif dalam semua bidang keilmuan islam, namun dari sudut epistemoliginya ada kesimpulan dari pemikirannya yaitu dia memiliki pemikiran yang khas dan tipikal, ia selalu konsisten mengacu pada rujukan yang memliki sumber otoritatif, yakni Al-Qur’an dan Hadith, disamping itu yang menjadi tipikal karya karyanya adalah kecenderungannya terhadap madzhaab Syafi’i. Di antara pemikiran beliau dalam masalah pendidikan adalah:
1.      Signifikansi Pendidikan
Beliau menyebutkan bahwa tujuan utama ilmu pengetahan adalah mengamalkan. Hal itu dimaksudkan agar ilmu yang dimiliki menghasilkanmanfaat sebagai bekal untuk kehidupan akhirat kelak. Terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam menuntut ilmu, yaitu : pertama, bagi murid hendaknya berniat suci dalam menuntut ilmu, jangan sekali-kali berniat untuk hal-hal duniawi dan jangan melecehkannya. Kedua, bagi guru dalam mengajarkan ilmu hendaknya meluruskan niatnya terlebih dahulu, tidak mengharapkan materi semata.
Belajar menurut KH. Hasyim Asy’ari merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah, yang mengantarkan manusia untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Karenanya belajar harus diniatkan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam, bukan hanya untuk sekedar menghilangkan kebodohan.[7]
Pendidikan hendaknya mampu menghantarkan umat manusia menuju kemaslahatan, menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan hendaknya mampu mengembangkan serta melestarikan nilai-nilai kebajikan dan norma-norma Islam kepada generasi penerus umat, dan penerus bangsa. Umat Islam harus maju dan jangan mau dibodohi oleh orang lain, umat Islam harus berjalan sesuai dengan nilai dan norma-norma Islam.
2.      Etika Seorang Guru Terhadap Siswa
Diantara etika pendidik terhadap peserta didik adalah sebagai berikut; (a)berniat mendidik dan menyebarkan ilmu pengetahuan serta menghidupkan syari’at Islam; (b) guru hendaknya memiliki keihlasan dalam mengajar; (c) mencintai peserta didik sebagaimana mencinta dirinya sendiri; (d) memberi kemudahan dalam mengajar dan menggunakan kata-kata yang dapat dipahami; (e) membangkitkan semangat peseta didik dengan jalan memotivasinya; (f) memberkan latihan-latihan yang bersifat membantu; (g) selalu memperhatikan kemampuan anak didik; (h) tidak menampakkan kelebihan sebagian peserta didik terhadap peserta didik yang lain; (i) mengerahkan minat anak didik; (j) bersikap terbuka dan lapang dada kepada peserta didik; (k) membantu memecahkan kesulitan anak didik; (l) bila ada anak didik yang berhalangan hadar hendaknya menanyakan hal itu kepada teman-temannya; (m) Tunjukkan sikap arif dan tawadhu’ketika memberi bimbingan kepada peserta didik; (n) menghormati peserta didik dengan memanggil namanya yang baik.
3.      Etika Siswa Terhadap Guru
Menurut KH. Hasyim Asy’ari paling tidak ada 12 etika yang perlu dilakukan, yakni: (a) melakukan perenungan dan meminta petunjuk kepada Allah swt dalam memilih guru; (b) belajar sungguh-sungguh dengan menemui pendidik secara langsung, tidak hanya melalui tulisan-tulisannya semata; (c) mengikuti guru, terutama dalam kecerundungan pemikiran; (d) memuliakan guru; (e) memperhatikan hal-hal yang menjadi hak pendidik; (f) bersabar terhadap kekerasan pendidik; (g) berkunjung kepada guru pada tempatnya atau meminta izin terlebih dahulu; (h) menempati posisi duduk dengan rapih dan sopan bila berhadapan dengannya; (i) berbicara dengan halus dan lemah lembut; (j) menghafal dan memperhatikan fatwa hukum, nasihat, kisah, dari para guru; (k) jangan sekali-kali menyela ketika guru belum selesai menjelaskan; (l) menggunakan anggota badan yang kanan bila menyerahkan sesuatu kepada pendidik. [8]
4.      Etika Guru Bersama Murid
Guru dan murid pada dasarnya memiliki tanggung jawab yang berbeda, namun terkadang seorang guru dan murid mempunyai tanggung jawab yang sama, diantara etika tersebut adalah : (a) berniat mendidik dan menyebarkan ilmu pengetahuan serta menghidupkan syari’at islam; (b) menghindari ketidak ikhlasan dan mengejar keduniawian; (c) hendaknya selalu melakukan instropeksi diri; (d) menggunakan metode yang sudah dipahami murid; (e) membangkitkan semangat murid dengan memotivasinya; (f) memberikan latihan – latihan yang bersifat membantu; (g) selalu memperhatikan kemapuan peserta didik yang lain; (h) bersikap terbuka dan lapang dada; (i) membantu memecahkan masalah dan kesulitan peserta didik; (j) tunjukkan sikap yang arif dan tawadhu’ kepada peserta didik yang satu dengan yang lain.
Bila sebelumnya seorang murid dengan guru memiliki tugas dan tanggung jawab yang berbeda, maka setelah kita telaah kembali, ternyata seorang guru dan murid juga memiliki tugas yang serupa seperti tersebut di atas. Ini mengindikasikan bahwa pemikiran KH. Hasyim Asy’ari tidak hanya tertuju pada perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh peserta didik dan guru, namun juga keasamaan yang dimiliki dan yang harus dijalani. Hal ini pulalah yang memberikan indikasi nilai utama yang lebih pada hasil pemikirannya.

D.    Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari Dengan Pendidikan Sekarang
Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari sesungguhnya lebih menitik beratkan pada persoalan hati (qolb) sehingga yang menjadi hal terpenting atau modal dalam menuntut ilmu adalah niat yang tulus dan ikhlas dan mengaharapkan ridha Allah Swt, selain itu dia juga sangat menekankan penanaman akhlak dan moral terhadap siswa, jika dikaitkan dengan pendidikan sekarang maka pemikiraan KH. Hasyim Asy’ari berhubungan erat dengan aspek afektif siswa, pada dasarnya pemikiran KH. Hasyim Asy’ari mengenai tujuan atau pun dasar yang digunakan adalah sangat tepat bahkan sangat sesuai karena menggunakan dasar Al-Qur’an dan Hadith. Karena dalam Al-Qur’an dan Hadith terwujud suatu system pendidikan yang koomperhensif yaitu kognitif, afectif dan psikomotorik.
Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari memunculkan implikasi terhadap pendidikan islam tradisional pada umumnya, dan lembaga yang berada di naungan NU pada khusunya, diantaranya antara lain :
Pola kepemimpinan dalam pemikiran KH. Hasyim Asy’ari cenderung mengarah pada pola kepemimpinan yang kharismatik, dimana pengaruh sang pemimpin lebih ditekankan pada garis keturunan, pola kepemimpinan yang seperti ini bisa dikatakan sebagai suatu pola kepemimpinan yang tidak demokratis, jadi bisa dikatakan pola ini tidak cocok di terapkan dalam pola kepemimpinan sekarang. Dalam pola pengajaran KH. Hasyim Asy’ari lebih cenderung bahwa guru adalah sebagai subyek yang harus menstransfer ilmu, jika kita kaitkaan dengan pola pendidikan saat ini maka hal tidak terlalu efektif karena hal itu menyebabkan siswa akan cenderung pasif dan kurang bisa mengembangkan pengetahuan, karena mereka cenderung hanya mengandalkan ilmu yang diberikan oleh guru.
Mengenai evaluasi menurut pemikiran KH. Hasyim Asy’ari memang dalam proses evaluasi tidak menggunakan standarisasi nilai, namun jika ditelisik sistem pendidikan islam  sebenarnya proses itu sudah menilai dari segala aspek yaitu aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dari pemikiran KH. Hasyim Asy’ari yang telah digambarkan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pemikiran KH. Hasyim Asy’ari masih bercorak tradisionalis, tetapi pemikiran KH. Hasyim Asy’ari tetap sesuai dan tepat jika diterapkan dalam pendidikan islam saat ini, terutama dalam beberapa aspek antara lain: dalam hal tujuan pendidikan, materi dan dasar yang digunakan yaitu Al-Qu’an dan Hadisth.

E.     Karya-Karya KH. Hasyim Asy’ari
KH. Hasyim Asy’ari termasuk sosok ulama yang sangat produktif dalam menulis karyanya. Namun sangat disayangkan bahwa sejumlah karyanya tidak bisa ditemui oleh masyarakat umum secara bebas dan sebagian belum sempat dipublikasikan karena belum tertibnya pengarsipan yang ada pada masa itu serta kurang tertata rapi sistem dokumentasi dan pengarsipan pada lembaga NU.  Setidaknya dibawah ini dapat kita lihat diantara kitab yang disusunnya, antara lain:[9]
1.            Adab al Alim wa al Muta’allim fima Yahtaj ilah al Muta’alim fi Ahuwal Ta’allum wa ma Yataqaff al Mu’allim fi Maqamat Ta’limih.Tatakrama pengajar dan pelajar. Berisi tentang etika bagi para pelajar dan pendidik, merupakan resume dari Adab al-Mu’allim karya Syekh Muhammad bin Sahnun (w.256 H/871 M); Ta’lim al-Muta’allim fi Thariq at-Ta’allum karya Syeikh Burhanuddin al-Zarnuji (w.591 H); dan Tadzkirat al-Saml wa al-Mutakallim fi Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim karya Syeikh Ibn Jama’ah. Memuat 8 bab, diterbitkan oleh Maktabah at-Turats al-Islamy Tebuireng. Di akhir kitab terdapat banyak pengantar dari para ulama, seperti: Syeikh Sa’id bin Muhammad al-Yamani (pengajar di Masjidil Haram, bermadzhab Syafii), Syeikh Abdul Hamid Sinbal Hadidi (guru besar di Masjidil Haram, bermadzhab Hanafi), Syeikh Hasan bin Said al-Yamani (Guru besar Masjidil Haram), dan Syeikh Muhammad ‘Ali bin Sa’id al-Yamani.
2.            Ziyadat Ta’liqat, Radda fiha Mandhumat al Syaikh “Abd Allah bin Yasin al Fasurani Allati Bihujubiha “ala Ahl Jam’iyyah Nahdhatul Ulama. Catatan seputar nadzam Syeikh Abdullah bin Yasin Pasuruan. Berisi polemik antara Kiai Hasyim dan Syeikh Abdullah bin Yasir. Di dalamnya juga terdapat banyak pasal berbahasa Jawa dan merupakan fatwa Kiai Hasyim yang pernah dimuat di Majalah Nahdhatoel Oelama’.
3.            Al Tanbihat al Wajibat liman Yashna al Maulid al MunkaratPeringatan-peringatan wajib bagi penyelenggara kegiatan maulid yang dicampuri dengan kemungkaran. Ditulis berdasarkan kejadian yang pernah dilihat pada malam Senin, 25 Rabi’ al-Awwal 1355 H., saat para santri di salah satu pesantren sedang merayakan Maulid Nabi yang diiringi dengan perbuatan mungkar, seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan, permainan yang menyerupai judi, senda gurau, dll. Pada halaman pertama terdapat pengantar dari tim lajnah ulama al-Azhar, Mesir. Selesai ditulis pada 14 Rabi’ at-Tsani 1355 H., terdiri dari 15 bab setebal 63 halaman, dicetak oleh Maktabah at-Turats al-Islamy Tebuireng, cetakan pertama tahun 1415 H.
4.            Al Risalat al Jamiat, Sharh fiha Ahmaal al Mauta wa Asirath al sa’at ma’bayan Mafhum al Sunnah wa al Bid’ah. . Risalah Ahl Sunnah Wal Jama’ah tentang hadis-hadis yang menjelaskan kematian, tanda-tanda hari kiamat, serta menjelaskan sunnah dan bid’ah. Berisi 9 pasal.
5.            Al Nur al Mubin fi Mahabbah Sayyid al Mursalin, bain fihi Ma’na al Mahabbah Libasul Allah wa ma Yata’allaq biha Man Ittiba’iha wa Ihya al Sunnahih. Cahaya yang jelas menerangkan cinta kepada pemimpin para rasul. Berisi dasar kewajiban seorang muslim untuk beriman, mentaati, meneladani, dan mencintai Nabi Muhammad SAW. Tebal 87 halaman, memuat biografi singkat Nabi SAW mulai lahir hingga wafat, dan menjelaskan mu’jizat shalawat, ziarah, wasilah, serta syafaat. Selesai ditulis pada 25 Sya’ban 1346 H., terdiri dari 29 bab.
6.            Hasyiyah ‘ala Fath al Rahman bi Syarth Risalat al Wali Ruslan li Syaikh al Islam Zakaria al Ansyari.
7.            Al Duur al Muntasirah fi Masail al Tiss’I Asyrat, Sharth fiha Masalat al Thariqah wa al Wilayah wa ma Yata’allq bihima min al Umur al Muhimmah li ahl thariqah. Mutiara yang memancar dalam menerangkan 19 masalah. Berisi kajian tentang wali dan thariqah dalam bentuk tanya-jawab sebanyak 19 masalah. Tahun 1970-an kitab ini diterjemahkan oleh Dr. KH. Thalhah Mansoer atas perintah KH. M. Yusuf Hasyim, dierbitkan oleh percetakan Menara Kudus. Di dalamnya memuat catatan editor setebal xxxiii halaman. Sedangkan kitab aslinya dimulai dari halaman 1 sampai halaman 29.
8.            Al Tibyan fi al Nahy ‘an Muqathi’ah al Ihwan, bain fih Ahammiyat Shillat al Rahim wa Dhurrar qatha’iha. Berisi tentang tata cara menjalin silaturrahim, bahaya dan pentingnya interaksi sosial. Tebal 17 halaman, selesai ditulis hari Senin, 20 Syawal 1360 H., penerbit Maktabah Al-Turats Al-Islami Ma’had Tebuireng.
9.            Al Risalah al Tauhidiyah, wahiya Risalah Shaghirat fi Bayan ‘Aqidah Ahl Sunnah wa al Jamaah.
10.        Al Walaid fi Bayan ma Yajib min al’Aqaid.
11.        Al-Risalah fi at-Tasawwuf. Menerangkan tentang tashawuf; penjelasan tentang ma’rifat, syariat, thariqah, dan haqiqat. Ditulis dengan bahasa Jawa, dicetak bersama kitab al-Risalah fi al-‘Aqaid.
12.        Al-Risalah fi al-’Aqaid. Berbahasa Jawa, berisi kajian tauhid, pernah dicetak oleh Maktabah an-Nabhaniyah al-Kubra Surabaya, bekerja sama dengan percetakan Musthafa al-Babi al-Halabi Mesir tahun 1356 H./1937M. Dicetak bersama kitab Kiai Hasyim lainnya yang berjudul Risalah fi at-Tashawwuf serta dua kitab lainnya karya seorang ulama dari Tuban. Risalah ini ditash-hih oleh syeikh Fahmi Ja’far al-Jawi dan Syeikh Ahmad Said ‘Ali (al-Azhar). Selelai ditash-hih pada hari Kamis, 26 Syawal 1356 H/30 Desember 1937 M.[10]

F.     Analisis Pemikiran Kependidikan KH. Hasyim Asy’ari
Adapun Karakteristik pemikiran pendidikan Islam yang berkembang sejak masa awal Islam hingga sekarang sangat beragam. Keberagaman ini dipengaruhi oleh konstruk sosial, politik dan keagamaan yang berkembang sehingga antara ciri khas sebuah pemikiran atau literature dengan keadaan sosial ketika iu memiliki korelasi yang signifikan.
Namun demikian menurut Hasan Langgung, tokoh kependidikan kontemporer pada dasarnya literatur kependidikan Islam itu digolongkan ke beberapa corak.  Antara lain :
1.            corak pemikiran pendidikan yang awalnya adalah sajian dalam spesifikasi fiqh, tafsir, dan hadist kemudian mendapatkan perhatian tersendiri dengan mengembangkan aspek-aspek pendidikan. Model ini diwakili oleh Ibn Hazm (384-456 H).
2.            Corak pemikiran pendidikan yang bermuatan sastera. Contohnya adalah Abdullah bin al-Muqaffa’ (106-142 H/724-759M).
3.            corak pemikiran pendidikan Islam filosofis. Sebagai contohnya adalah corak kependidikan yang dikembangkan oleh aliran Mu’tazilah, ikhwah al-Shafa dan para filosof.
4.            Pemikiran pendidikan Islam yang bediri sendiri dan berlainan dari beberapa corak diatas, tetapi ia tetap berpegang teguh pada semangat al-Qur’andan al-Hadist.

Jika mengacu pada klasifikasi Hasan Langgulung di atas maka tampaknya Adab al-Alim wa al-Muta’allim dapat digolongkan pada corak yang terakhir. Hal ini didasarkan atas kandungan dalam kitab-kitab tersebut tidak memuat kajian-kajian dalam spesifikasi fiqh, sastera, dan filasafat. Adab ’al-Alim semata-mata memberi petunjuk praktis bagi siapa saja yang terlibat dalam proses pendidikan, sebagaimana yang dikemukakan oleh KH. Hasyim Asy’ari tentang latar belakang penulisannya.
Selain itu,  Adab ’al-Alim mempunyai banyak kesamaan dengan Ta’lim al-Muta’allim karya al-Zarnuji. Disisi lain, karakter pemikiran kependidikan KH. Hasyim Asy’ari dapat dimasukkan kedalam garis mazhab Syafi’iyyah. Bukti kuat menunjukkan hal itu adalah beliau sering mengutip tokoh-tokoh syafi’iyyah, termasuk Imam al-Syafi’i sendiri ketimbang tokoh mazhab yang lain.
Dan juga pemikiran KH. Hasyim Asy’ari adalah mengetengahkan nilai-nilai estetika yang bernafaskan sufistik. Untuk sekedar meyakinkan hal itu dapat dikemukakan bahwa bagi beliau keutamaan ilmu yang sangat isitimewa adalah bagi orang yang benar-benar lillahi ta’alaa.

G.    Kesimpulan
KH. Hasyim Asy’ari  menyiratkan pada sebuah pemahaman bahwa pendidikan itu lebih banyak ditekankan oleh aspek guru. Guru tidak hanya sebagai transmitor pengetahuan (knowledge) kepada peserta didik, tetapi juga pihak yang memberi pengaruh secara signifikan terhadap pembentukan perilaku (etika) peserta didik.
Sebab, hatilah yang mendorong sebuah etika itu muncul. Kecenderungan pada aspek hati ini dengan sendirinya membedakan diri dari corak pemikiran pendidikan yang lain, seperti aliran progresivisme dan essensialisme.
BIBLIOGRAFI

Khuluq Lathiful. Kebangkitan Ulama, Biografi K.H.Hasyim Asy’ari. Yogyakarta: LKIS, 2000.
Mawardi Kholid. Jurnal  Pemikiran Alternatif Pendidikan : Moralitas  Pemikiran Pendidikan  K. H. Hasyim asy’ari. Yogyakarta : Insania , 2008.
Nata Abuddin. Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Rajagrafindo Persada. 2005.
Rizal Samsul, M.A DR.H.Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta : Ciputat Pers, 2002.
Suwendi, Sejarah & Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
Zuhairi dkk. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 2004.
http://anwarbook.blogspot.com/2011/11/pemikiran-pendidikan-islam-kh-hasyim.html


[1] Kholid Mawardi, Jurnal  Pemikiran Alternatif Pendidikan : Moralitas Pemikiran Pendidikan  K. H. Hasyim asy’ari. (Yogyakarta : Insania , 2008) 2
[2] Abuddin Nata. Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia,(Jakarta: Rajagrafindo Persada. 2005)113
[3] Lathiful Khuluq, Kebangkitan Ulama, Biografi K.H.Hasyim Asy’ari, (Yogyakarta: LKIS, 2000) 14.
[4] Ibid, 16.
[5] Ibid, 18.
[6] Op. Cit, Lathiful Khuluq, Kebangkitan Ulama , 21.
[7] DR.H. Samsul Rizal, M.A. Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta : Ciputat Pers.. 2002)155
[8] Op. Cit. DR.H. Samsul Rizal, M.A.. Filsafat Pendidikan Islam 167.
[9] Suwendi, Sejarah & Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), 141.
[10] http://anwarbook.blogspot.com/2011/11/pemikiran-pendidikan-islam-kh-hasyim.html