KILAS
SEJARAH SEPUTAR PENDIRIAN NU
Kilas Sejarah Seputar
Pendirian NU; Dukungan KH Kholil Bangkalan terhadap KH. Hasyim Asy’ari
Artikel ini dikutip dari buletin Nahdliyah yang diterbitkan PCNU
Pasuruan edisi 1 dan 2 September dan Oktober 2006. Artikel ini dimuat kembali
agar generasi muda NU dan simpatisannya semakin memahami NU dan mempertebal keimanan
Ahlussunnah wal Jamaahnya.
Ada
tiga orang tokoh ulama yang memainkan peran sangat penting dalam proses
pendirian Jamiyyah Nahdlatul Ulama (NU) yaitu Kiai Wahab Chasbullah (Surabaya
asal Jombang), Kiai Hasyim Asy’ari (Jombang) dan Kiai Cholil
(Bangkalan). Mujammil Qomar, penulis buku “NU Liberal: Dari Tradisionalisme
Ahlussunnah ke Universalisme Islam”, melukiskan peran ketiganya sebagai berikut
Kiai Wahab sebagai pencetus ide, Kiai Hasyim sebagai pemegang kunci, dan Kiai
Cholil sebagai penentu berdirinya.
Tentu
selain dari ketiga tokoh ulama tersebut , masih ada beberapa tokoh lainnya yang
turut memainkan peran penting. Sebut saja KH. Nawawie Noerhasan dari Pondok
Pesantren Sidogiri. Setelah meminta restu kepada Kiai Hasyim seputar rencana
pendirian Jamiyyah. Kiai Wahab oleh Kiai Hasyim diminta untuk menemui Kiai
Nawawie. Atas petunjuk dari Kiai Hasyim pula, Kiai Ridhwan-yang diberi tugas
oleh Kiai Hasyim untuk membuat lambang NU- juga menemui Kiai Nawawie. Tulisan
ini mencoba mendiskripsikan peran Kiai Wahab, Kiai Hasyim, Kiai Cholil dan
tokoh-tokoh ulama lainnya dalam proses berdirinya NU.
Keresahan
Kiai Hasyim
Bermula
dari keresahan batin yang melanda Kiai Hasyim. Keresahan itu muncul setelah
Kiai Wahab meminta saran dan nasehatnya sehubungan dengan ide untuk mendirikan
jamiyyah / organisasi bagi para ulama ahlussunnah wal jamaah. Meski memiliki
jangkauan pengaruh yang sangat luas, untuk urusan yang nantinya akan melibatkan
para kiai dari berbagai pondok pesantren ini, Kiai Hasyim tak mungkin untuk
mengambil keputusan sendiri. Sebelum melangkah, banyak hal yang harus
dipertimbangkan, juga masih perlu untuk meminta pendapat dan masukan dari
kiai-kiai sepuh lainnya.
Pada
awalnya, ide pembentukan jamiyyah itu muncul dari forum diskusi Tashwirul Afkar
yang didirikan oleh Kiai Wahab pada tahun 1924 di Surabaya. Forum diskusi
Tashwirul Afkar yang berarti “potret pemikiran” ini dibentuk sebagai wujud
kepedulian Kiai Wahab dan para kiai lainnya terhadap gejolak dan tantangan yang
dihadapi oleh umat Islam terkait dalam bidang praktik keagamaan, pendidikan dan
politik. Setelah peserta forum diskusi Tashwirul Afkar sepakat untuk membentuk
jamiyyah, maka Kiai Wahab merasa perlu meminta restu kepada Kiai Hasyim yang
ketika itu merupakan tokoh ulama pesantren yag sangat berpengaruh di Jawa
Timur.
Setelah
pertemuan dengan Kiai Wahab itulah, hati Kiai Hasyim resah. Gelagat inilah yang
nampaknya “dibaca” oleh Kiai Cholil Bangkalan yang terkenal sebagai seorang
ulama yang waskita (mukasyafah). Dari jauh ia mengamati dinamika dan suasana
yang melanda batin Kiai Hasyim. Sebagai seorang guru, ia tidak ingin muridnya
itu larut dalam keresahan hati yang berkepanjangan. Karena itulah, Kiai Cholil
kemudian memanggil salah seorang santrinya, As’ad Syamsul Arifin (kemudian hari
terkenal sebagai KH. As’ad Syamsul Arifin, Situbondo) yang masih terhitung
cucunya sendiri.
Tongkat
“Musa”
“Saat
ini Kiai Hasyim sedang resah. Antarkan dan berikan tongkat ini kepadanya,”
titah Kiai Cholil kepada As’ad. “Baik, Kiai,” jawab As’ad sambil menerima
tongkat itu.
“Setelah
memberikan tongkat, bacakanlah ayat-ayat berikut kepada Kiai Hasyim,” kata Kiai
Cholil kepada As’ad seraya membacakan surat Thaha ayat 17-23.
Allah
berfirman: ”Apakah itu yang di tangan kananmu, hai musa? Berkatalah Musa : ‘ini
adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk
kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya’.” Allah berfirman:
“Lemparkanlah ia, wahai Musa!” Lalu dilemparkannya tongkat itu, maka tiba-tiba
ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat”, Allah berfirman: “Peganglah
ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaan semula, dan
kepitkanlah tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia keluar menjadi putih cemerlang
tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain (pula), untuk Kami perlihatkan kepadamu
sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang besar.”
Sebagai
bekal perjalanan ke Jombang, Kiai Cholil memberikan dua keping uang logam
kepada As’ad yang cukup untuk ongkos ke Jombang. Setelah berpamitan, As’ad
segera berangkat ke Jombang untuk menemui Kiai Hasyim. Tongkat dari Kiai Cholil
untuk Kiai Hasyim dipegangnya erat-erat.
Meski
sudah dibekali uang, namun As’ad memilih berjalan kaki ke Jombang. Dua keeping
uang logam pemberian Kiai Cholil itu ia simpan di sakunya sebagai
kenagn-kenangan. Baginya, uang pemberian Kiai Cholil itu teramat berharga untuk
dibelanjakan.
Sesampainya
di Jombang, As’ad segera ke kediaman Kiai Hasyim. Kedatangan As’ad disambut
ramah oleh Kiai Hasyim. Terlebih, As’ad merupakan utusan khusus gurunya, Kiai
Cholil. Setelah bertemu dengan Kiai Hasyim, As’ad segera menyampaikan maksud kedatangannya,
“Kiai, saya diutus oleh Kiai Cholil untuk mengantarkan dan menyerahkan tongkat
ini,” kata As’ad seraya menyerahkan tongkat.
Kiai
Hasyim menerima tongkat itu dengan penuh perasaan. Terbayang wajah gurunya yang
arif, bijak dan penuh wibawa. Kesan-kesan indah selama menjadi santri juga
terbayang dipelupuk matanya. “Apa masih ada pesan lainnya dari Kiai Cholil?”
Tanya Kiai Hasyim. “ada, Kiai!” jawab As’ad. Kemudian As’ad membacakan surat
Thaha ayat 17-23.
Setelah
mendengar ayat tersebut dibacakan dan merenungkan kandungannya, Kiai Hasyim
menangkap isyarat bahwa Kiai Cholil tak keberatan apabila ia dan Kiai Wahab
beserta para kiai lainnya untuk mendirikan Jamiyyah. Sejak saat itu proses
untuk mendirikan jamiyyah terus dimatangkan. Meski merasa sudah mendapat lampu
hijau dari Kiai Cholil, Kiai Hasyim tak serta merta mewujudkan niatnya untuk
mendirikan jamiyyah. Ia masih perlu bermusyawarah dengan para kiai lainnya,
terutama dengan Kiai Nawawi Noerhasan yang menjadi Pengasuh Pondok Pesantren
Sidogiri. Terlebih lagi, gurunya (Kiai Cholil Bangkalan) dahulunya pernah
mengaji kitab-kitab besar kepada Kiai Noerhasan bin Noerchotim, ayahanda Kiai
Nawawi Noerhasan.
Untuk
itu, Kiai Hasyim meminta Kiai Wahab untuk menemui Kiai Nawawie. Setelah
mendapat tugas itu, Kiai Wahab segera berangkat ke Sidogiri untuk menemui Kiai
Nawawie. Setibanya di sana, Kiai Wahab segeraa menuju kediaman Kiai Nawawie.
Ketika bertemu dengan Kiai Nawawie, Kiai Wahab langsung menyampaikan maksud kedatangannya.
Setelah mendengarkan dengan seksama penuturan Kiai Wahab yang menyampaikan
rencana pendirian jamiyyah, Kiai Nawawie tidak serta merta pula langsung
mendukungnya, melainkan memberikan pesan untuk berhati-hati. Kiai Nawawie
berpesan agar jamiyyah yang akan berdiri itu supaya berhati-hati dalam masalah
uang. “Saya setuju, asalkan tidak pakai uang. Kalau butuh uang, para anggotanya
harus urunan.” Pesan Kiai Nawawi.
Proses
dari sejak Kiai Cholil menyerahkan tongkat sampai dengan perkembangan terakhir
pembentukan jamiyyah rupanya berjalan cukup lama. Tak terasa sudah setahun
waktu berlalu sejak Kiai Cholil menyerahkan tongkat kepada Kiai Hasyim. Namun,
jamiyyah yang diidam-idamkan tak kunjung lahir juga. Tongkat “Musa” yang
diberikan Kiai Cholil, maskih tetap dipegang erat-erat oleh Kiai Hasyim.
Tongkat itu tak kunjung dilemparkannya sehingga berwujud “sesuatu” yang
nantinya bakal berguna bagi ummat Islam.
Sampai
pada suatu hari, As’ad muncul lagi di kediaman Kiai Hasyim dengan membawa
titipan khusus dari Kiai Cholil Bangkalan. “Kiai, saya diutus oleh Kiai Cholil
untuk menyerahkan tasbih ini,” kata As’ad sambil menyerahkan tasbih. “Kiai juga
diminta untuk mengamalkan bacaan Ya Jabbar Ya Qahhar setiap waktu,” tambah
As’ad. Entahlah, apa maksud di balik pemberian tasbih dan khasiat dari bacaan
dua Asma Allah itu. Mungkin saja, tasbih yang diberikan oleh Kiai Cholil itu
merupakan isyarat agar Kiai Hasyim lebih memantapkan hatinya untuk melaksanakan
niatnya mendirikan jamiyyah. Sedangkan bacaan Asma Allah, bisa jadi sebagai doa
agar niat mendirikan jamiyyah tidak terhalang oleh upaya orang-orang dzalim
yang hendak menggagalkannya.
Qahhar
dan Jabbar adalah dua Asma Allah yang memiliki arti hampir sama. Qahhar berarti
Maha Memaksa (kehendaknya pasti terjadi, tidak bisa dihalangi oleh siapapun)
dan Jabbar kurang lebih memiliki arti yang sama, tetapi adapula yang
mengartikan Jabbar dengan Maha Perkasa (tidak bisa dihalangi/dikalahkan oleh
siapapun). Dikalangan pesantren, dua Asma Allah ini biasanya dijadikan amalan
untuk menjatuhkan wibawa, keberanian, dan kekuatan musuh yang bertindak
sewenang-wenang. Setelah menerima tasbih dan amalan itu, tekad Kiai Hasyim
untuk mendirikan jamiyyah semakin mantap. Meski demikian, sampai Kiai Cholil
meninggal pada 29 Ramadhan 1343 H (1925 M),jamiyyah yang diidamkan masih belum
berdiri. Barulah setahun kemudian, pada 16 Rajab 1344 H, “jabang bayi” yang
ditunggu-tunggu itu lahir dan diberi nama Nahdlatul Ulama (NU).
Setelah
para ulama sepakat mendirikan jamiyyah yang diberi nama NU, Kiai Hasyim meminta
Kiai Ridhwan Nashir untuk membuat lambangnya. Melalui proses istikharah, Kiai
Ridhwan mendapat isyarat gambar bumi dan bintang sembilan. Setelah dibuat
lambangnya, Kiai Ridhwan menghadap Kiai Hasyim seraya menyerahkan lambang NU yang
telah dibuatnya. “Gambar ini sudah bagus. Namun saya minta kamu sowan ke Kiai
Nawawi di Sidogiri untuk meminta petunjuk lebih lanjut,” pesan Kiai Hasyim.
Dengan membawa sketsa gambar lambang NU, Kiai Ridhwan menemui Kiai Nawawi di
Sidogiri. “Saya oleh Kiai Hasyim diminta membuat gambar lambang NU. Setelah
saya buat gambarnya, Kiai Hasyim meminta saya untuk sowan ke Kiai supaya
mendapat petunjuk lebih lanjut,” papar Kiai Ridhwan seraya menyerahkan
gambarnya.
Setelah
memandang gambar lambang NU secara seksama, Kiai Nawawie memberikan saran
konstruktif: “Saya setuju dengan gambar bumi dan sembilan bintang. Namun masih
perlu ditambah tali untuk mengikatnya.” Selain itu, Kiai Nawawie jug a meminta
supaya tali yang mengikat gambar bumi ikatannya dibuat longgar. “selagi tali
yang mengikat bumi itu masih kuat, sampai kiamat pun NU tidak akan sirna,”
papar Kiai Nawawie.
Bapak
Spiritual
Selain
memiliki peran yang sangat penting dalam proses pendirian NU yaitu sebgai
penentu berdirinya, sebenarnya masih ada satu peran lagi, peran penting lain
yang telah dimainkan oleh Kiai Cholil Bangkalan. Yaitu peran sebagai bapak
spiritual bagi warga NU. Dalam tinjauan Mujammil Qomar, Kiai Cholil layak
disebut sebagai bapak spiritual NU karena ulama asal Bangkalan ini sangat besar
sekali andilnya dalam menumbuhkan tradisi tarekat, konsep kewalian dan haul
(peringatan tahunan hari kematian wali atau ulama).
Dalam
ketiga masalah itu, kalangan NU berkiblat kepada Kiai Cholil Bangkalan karena
ia dianggap berhasil dalam menggabungkan kecenderungan fikih dan tarekat dlam
dirinya dalam sebuah keseimbangan yang tidak meremehkan kedudukan fikih.
Penggabungan dua aspek fikih dan tarekat itu pula yang secara cemerlang
berhasil ia padukan dalam mendidik santri-santrinya. Selain membekali para santrinya
dengan ilmu-ilmu lahir (eksoterik) yang sangat ketat –santrinya tak boleh
boyong sebelum hafal 1000 bait nadzam Alfiah Ibn Malik, ia juga menggembleng
para santrinya dengan ilmu-ilmu batin (esoterik).
Kecenderungan
yang demikian itu bukannya tidak dimiliki oleh pendiri NU lainnya. Tokoh
lainnya seperti Kiai Hasyim, memiliki otoritas yang sangat tinggi dalam bidang
pengajaran kitab hadits shahih Bukhari, namun memiliki pandangan yang kritis
terhadap masalah tarekat, konsep kewalian dan haul. Kiai Hasyim merupakan murid
kesayangan dari Syaikh Mahfuzh at Tarmisi. Syaikh Mahfuzh adalah ulama
Indonesia pertama yang mengajarkan kitab hadits Shahih Bukhari di Mekkah.
Syaikh Mahfuzh diakui sebagai seorang mata rantai (isnad) yang sah dalam
transmisi intelektual pengajaran kitab Shahih Bukhari.
Karena
itu, Syaikh Mahfuzh berhak memberikan ijazah kepada murid-muridnya yang
berhasil menguasai kitab Shahih Bukhari. Salah seorang muridnya yang mendapat
ijazah mengajar Shahih Bukhari adalah Kiai Hasyim Asy’ari. Otoritas Kiai Hasyim
pada pengajaran kitab hadits Shahih Bukhari ini diakui pula oleh Kiai Cholil
Bangkalan. Di usia senjanya, gurunya itu sering nyantri pasaran (mengaji selama
bulan puasa) kepada Kiai Hasyim. Ini merupakan isyarat pengakuan Kiai Cholil
terhadap derajat keilmuan dan integritas Kiai Hasyim.
Sebagai
ulama yang otoritatif dalam bidang hadits, Kiai Hasyim memiliki pandangan yang
kritis terhadap perkembangan aliran-aliran tarekat yang tidak memiliki dasar
ilmu hadits. Ia menyesalkan timbulnya gejala-gejala penyimpangan tarekat dan
syariat di tengah-tengah masyarakat. Untuk itu, ia menulis kitab al
Durar al Muntasyirah fi Masail al Tis’a’Asyarah yang berisi petunjuk
praktis agar umat Islam berhati-hati apabila hendak memasuki dunia tarekat.
Selain
kritis dalam memandang tarekat, Kiai Hasyim juga kritis dalam memandang
kecenderungan kaum Muslim yang dengan mudah menyatakan kewalian seseorang tanpa
ukuran yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan secara teologis. Terhadap
masalah ini, Kiai Hasyim memberikan pernyataan tegas:
“Barangsiapa mengaku
dirinya sebagai wali tetapi tanpa kesaksian mengikuti syariat Rasulullah SAW,
orang tersebut adalah pendusta yang membuat perkara tentang Allah SWT.”
Lebih
tegas beliau menyatakan:
“Orang yang mengaku dirinya
wali Allah SWT, orang tersebut bukanlah wali yang sesungguhnya melainkan hanya
wali-walian yang jelas salah sebab dia mengatakan sir al-khushusiyyah
(rahasia-rahasia khusus) dan dia membuat kedustaan atas Allah Ta’ala.”
Demikian
pula terhadap masalah haul. Selain Kiai Hasyim, para pendiri NU lainnya seperti
Kiai Wahab dan Kiai Bisri Syansuri juga bersikap kritis terhadap konsep haul
dan mereka menolak untuk di-haul-i (Qomar, 2002). Akan tetapi di kalangan NU
sendiri, acara haul telah menjadi tradisi yang tetap dipertahankan sampai
sekarang. Para wali atau kiai yang meninggal dunia, setiap tahunnya oleh warga
nahdliyih akan di-haul-i dengan serangkaian kegiatan seperti ziarah kubur,
tahlil dan ceramah agama untuk mengenang perjuangan mereka agar dapat dijadikan
teladan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Mengapa
masalah tarekat, konsep kewalian dan haul yang mendapat kritikan pedas dari
Kiai Hasyim tersebut, justru ditradisikan di kalangan NU? Apakah warga NU sudah
tidak lagi mengindahkan peringatan Kiai Hasyim? Untuk memastikan jawabannya,
menurut Mujammil Qomar, agak sulit, mengingat NU bisa berkembang pesat juga
karena usaha dan pengaruh Kiai Hasyim. Wallahu a’lam.
Refrensi Dokumenter NU
Tidak ada komentar :
Posting Komentar